~/blog/warna-yang-tak-pernah-ada
Published on
1,243 words6.215 min read

Warna yang Tak Pernah Ada

Authors

Ruang studio dipenuhi aroma tajam terpentin, cat minyak, dan amarah yang sunyi namun menyengat. Di antara tumpukan kanvas dan palet-palet yang berserakan, Nadine berdiri tegak, bahunya menegang, rahangnya terkunci oleh sesuatu yang tidak lagi bisa ditahan.

Tangan Nadine bergerak cepat—tidak terarah, tapi penuh maksud. Palet yang sebelumnya berada di atas meja jatuh, membentur lantai keras, meledakkan warna merah tua seperti semburan luka terbuka. Cat itu menyebar, mengalir perlahan ke arah kaki Rama yang berdiri mematung tak jauh dari kanvas utamanya.

Kanvas itu masih setengah basah, dengan sapuan akhir yang belum selesai. Goresan-goresannya nyaris simetris, terlalu tenang untuk menggambarkan dunia yang ada di sekelilingnya. Cipratan cat merah mencederai ketenangan itu, menciptakan luka tak sengaja yang membuat harmoni jadi retak.

Nadine tidak berkata apa pun. Tapi seluruh tubuhnya bicara. Ketegangan di punggung, napas yang memburu, bola mata yang tak berkedip saat memandangi Rama. Di antara mereka, ada kekosongan yang mencekam—bukan karena tidak ada kata, tapi karena terlalu banyak yang tidak pernah diucapkan.

Rama tidak bergerak. Matanya tertuju pada cipratan di kanvas, bukan pada Nadine. Di balik diamnya, bukan ketenangan. Tapi semacam kehancuran lambat yang tidak mengeluarkan suara.

Nadine melangkah pergi. Setiap jejak sepatunya di lantai membawa sisa cat merah, menciptakan pola acak yang memudar perlahan. Saat pintu ditutup, suara hentakannya menyisakan getar panjang.

Dan setelah itu, hanya keheningan yang tinggal. Lantai studio masih basah oleh warna yang mengering terlalu cepat. Di kanvas, noda merah itu tetap menempel, seperti luka yang menolak sembuh.

Tiga tahun berlalu sejak kepergian Nadine. Namun luka dalam hati Rama tidak bermula dari peristiwa itu saja. Ia telah lama menjadi rumah bagi kesunyian yang tidak dipilihnya, sejak masa kecil yang dingin dan tak bersuara.

Rama tumbuh di sebuah rumah yang dipenuhi bayangan, bukan kasih sayang. Ayahnya seorang pria kaku yang percaya bahwa kelembutan adalah bentuk kelemahan, sementara ibunya tenggelam dalam depresi yang tak pernah disebutkan namanya. Tak ada pelukan, tak ada pujian, hanya suara langkah dan piring yang dibenturkan pelan di meja makan. Di ruang-ruang seperti itulah, Rama belajar menggambar. Awalnya hanya garis-garis sederhana untuk mengisi kekosongan. Tapi lama-kelamaan, gambar menjadi satu-satunya ruang di mana ia bisa bernapas.

Warna pertama yang ia kenal adalah kelabu—warna dinding rumahnya, warna cuaca di hari-hari panjang tanpa percakapan, warna diam yang mengeras di dadanya. Seiring waktu, ia belajar meniru warna-warna dari majalah dan televisi. Tapi warna itu tetap tidak hidup. Ia bisa menciptakan cahaya dari cat, tapi tidak dari dirinya sendiri.

Saat remaja, satu-satunya yang membuatnya merasa hidup adalah ketika ia memenangkan lomba lukis tingkat kota. Bukan karena piala atau pujian, tapi karena untuk pertama kalinya, ada orang yang berhenti dan benar-benar melihat apa yang ia lukis. Ia mulai percaya bahwa mungkin melalui seni, ia bisa dicintai.

Namun seiring kariernya berkembang, lukisan menjadi ruang pelarian, bukan penyembuhan. Ia terus menciptakan, mengukir emosi di kanvas, tapi luka di dalam dirinya tak pernah sembuh. Setiap kali orang memuji karyanya, yang ia rasakan justru rasa hampa yang makin menyesakkan. Ia merasa seperti penipu yang memanipulasi keindahan untuk menyembunyikan kehancuran.

Dalam kurun waktu itu, Rama menjelma menjadi legenda. Karyanya terpampang di galeri-galeri prestisius dari Tokyo hingga Paris. Di balik kaca-kaca bening dan dinding putih steril, warna-warna karyanya berpendar seperti nyala lilin dalam ruangan gelap. Tapi di balik cahaya sorot galeri, hidup Rama tenggelam dalam bayangan yang semakin panjang.

Kritikus menyebutnya pelukis jenius abad ini. Lukisannya dianggap sebagai "ledakan spiritual dari emosi manusia yang tak terungkapkan." Orang-orang terdiam, menangis, menyebutnya mistik, revolusioner. Kolektor membayar miliaran rupiah untuk selembar kanvas. Tapi semua itu hanya gema asing di dalam ruang batin Rama yang sunyi.

Lingkungan tempat tinggalnya berubah menjadi kubikel elegan yang penuh dengan ketertiban. Galeri pribadinya, yang dulu hangat dan berantakan, kini steril, sunyi, seperti rumah sakit tanpa pasien. Di jendela-jendela besar, cahaya masuk tanpa makna, menerangi ruangan yang tidak benar-benar hidup. Suara hanya datang dari langkah sepatunya sendiri yang menggema di lantai marmer dingin.

Dalam hatinya, Rama adalah ruang kosong. Setiap kali ia menyelesaikan lukisan, ia menatapnya seperti menatap wajah asing. Ia bisa menciptakan komposisi yang sempurna, warna yang membius mata, bayangan yang tampak seperti hidup. Tapi semua itu tak pernah menembus kulit jiwanya. Ia merasa seperti tubuh tanpa isi, menciptakan bayangan indah yang tak bisa disentuh.

Setiap karya yang dielu-elukan orang lain adalah kebohongan yang makin lama makin dalam. Baginya, warna-warna itu hanyalah topeng. Bukan cerminan. Ia memahat kesan, bukan perasaan. Dan perlahan, ia mulai percaya bahwa makna itu sendiri tak pernah ada.

Warna-warna itu... tidak pernah ada.

Di balik semua pujian, Rama semakin larut dalam keterasingan. Ia memiliki galeri pribadi—bangunan putih tiga lantai yang dibangun dari hasil penjualan lukisan-lukisannya. Ia tinggal di sana, melukis setiap hari. Tidak ada televisi. Tidak ada musik. Hanya sunyi.

Pada malam-malam tertentu, ia menatap satu lukisan yang tidak pernah dipamerkan: Pelangi Dalam Senyap. Lukisan yang terciprat cat merah. Goresan yang ia biarkan rusak. Satu-satunya lukisan yang tidak pernah ia sentuh kembali.

Namun lebih dari itu, lukisan itu mulai memunculkan bayangan masa kecilnya yang selama ini tertanam dalam diam. Setiap ia menatap lapisan warna abu-abu pucat di sudut kanvas, ia seperti melihat kembali dinding rumah masa kecilnya—kusam, lembap, dan sunyi. Ada coretan samar seperti garis-garis krayon anak-anak di pojok bawah lukisan, yang mengingatkannya pada hari-hari ketika ia menggambar diam-diam di balik pintu agar tidak dimarahi sang ayah.

Ada satu area di kanvas yang warnanya seolah memudar, bukan karena waktu, tapi karena tak pernah selesai. Di situlah Rama pernah mencoba melukis sosok ibunya—bukan sebagai manusia, tapi sebagai kabut yang mengambang di jendela. Samar, tak pernah hadir sepenuhnya.

Garis-garis tipis yang nyaris tak terlihat membentuk meja makan dengan piring kosong di atasnya. Imaji yang tak disengaja, tapi terus muncul di lukisan-lukisan Rama. Ia tidak menyadari, tapi pikirannya telah membocorkan isi hatinya ke dalam cat.

Lukisan itu bukan karya. Itu adalah ruang kenangan yang membusuk perlahan. Dan setiap malam ia duduk di depannya, membiarkan kenangan itu terbuka sedikit demi sedikit, seperti luka lama yang dikelupas kembali, hanya untuk membuktikan bahwa ia masih bisa merasa sakit.

Dalam remang cahaya malam, ia menatap lukisan itu dan berbisik, "Di sinilah warnanya pernah ada. Tapi bukan di kanvas."

Suatu hari, Rama membuka pameran retrospektif. Ribuan orang datang. Wartawan, seniman muda, orang-orang penting. Mereka memuja. Mereka memotret. Mereka menangis. Tapi Rama hanya berjalan melewati galeri seperti hantu di rumahnya sendiri.

Seseorang bertanya padanya, "Apa makna dari semua lukisan Anda, Pak Rama?"

Ia menatap wartawan itu lama. Lalu berkata pelan:

"Tidak ada. Semua ini hanya... kebisingan yang ditata rapi."

Setelah pameran itu, Rama menghilang dari publik. Ia tak menjawab undangan. Tak mengisi wawancara. Dunia mulai merindukannya, lalu lambat laun melupakannya.

Di dalam galerinya, ia memulai satu lukisan terakhir. Kali ini bukan untuk dunia. Bukan untuk Nadine. Bahkan bukan untuk dirinya. Ia hanya ingin melukis sesuatu yang jujur. Tapi ia sadar, ia tak tahu lagi seperti apa bentuk kejujuran itu.

Ia mencampur warna, membiarkan tangannya bergerak tanpa tujuan. Tapi setiap goresan hanya memperjelas satu hal: kehampaan. Semakin ia melukis, semakin ia merasa tak pernah hidup.

Pada malam ke-99 ia mengerjakan lukisan itu, Rama menatapnya lama. Api kecil dari lilin menyinari permukaan kanvas. Ia memiringkan kepala.

"Mungkin ini... akhir dari segalanya."

Lilin terjatuh. Api menyambar kain kanvas yang basah oleh terpentin. Api melahap galeri dengan cepat, membakar bukan hanya lukisan terakhir, tapi seluruh tubuh karyanya. Warna-warna meleleh. Dinding-dinding runtuh.

Seorang anak bertanya padanya, "Om, kenapa gambar Om nggak dikasih warna?"

Ia tersenyum, dan berkata,

"Karena aku sedang belajar mengenal warna. Bukan yang di cat, tapi yang hidup di hati."

Anak itu mengangguk tanpa benar-benar mengerti. Tapi Rama tahu, ia tak butuh pengertian. Ia hanya butuh diam.