- Published on
- • 901 words• 4.505 min read
Sudah Mati Sejak Lama
- Authors
- Name
- Nur Wachid
- @wach_1
Tak ada yang menangis ketika jenazah itu dikuburkan. Tak ada keluarga yang datang. Tak ada doa, kecuali dari bibir kaku Pak RT yang membaca surat pendek setengah terbata. Tanah itu sudah kering saat digali, keras dan liat, seolah pun menolak menyambut tubuh yang terlambat ditanam.
Namanya Karso. Tak ada nama belakang. Tak ada gelar. Tak ada identitas pasti. Petugas pencatat sipil bahkan harus mengandalkan dokumen lama dari arsip kelurahan: KTP buram yang terakhir diperbarui tahun 2009. Lahir tahun 1960. Meninggal, kira-kira, tahun 2024. Atau bisa jadi 2014. Tak ada yang benar-benar tahu.
Tubuhnya ditemukan membusuk dalam posisi terduduk di kursi rotan lapuk. Ia seperti sedang tidur—atau telah tidur terlalu lama dalam hidupnya, sehingga kematiannya pun tak bisa dibedakan dari hari-hari biasanya. Rumah itu terkunci rapat, jendela diselimuti debu, dan bagian dalamnya gelap, lembab, dan sepi.
Tetangga baru curiga karena bau. Tapi bahkan bau itu tidak cukup menyengat untuk segera dipedulikan. Rumah Karso sudah lama seperti itu. Sunyi. Terlupakan. Seolah ia sudah mati sejak lama, dan baru hari ini jasadnya sempat dikubur.
Dulu, Karso pernah menjadi pegawai tata usaha di sekolah negeri. Bukan guru. Bukan kepala sekolah. Hanya staf yang duduk di pojok ruangan, mengetik surat, menyortir arsip, dan mencetak raport siswa. Tidak pernah terlambat. Tidak pernah membuat masalah. Tapi juga tidak pernah mengesankan.
Ia tidak pernah ikut makan siang bersama staf lain. Tidak pernah bersenda gurau. Ia datang tepat waktu, pulang diam-diam. Kadang membawa pulang laporan yang harus dirapikan, meski tak ada yang memintanya.
Suatu hari, ia berhenti datang ke kantor. Kepala sekolah mengira dia pensiun. Rekan-rekan mengira ia sudah pindah kota. Tak ada yang benar-benar mencari tahu. Gajinya tak diambil. Pensiunnya tak dituntut. Namanya perlahan hilang dari daftar pegawai. Tidak ada yang bertanya kenapa.
Ia lenyap. Tapi tidak sepenuhnya. Ia hanya kembali ke rumah kecilnya di gang buntu, di ujung kompleks perumahan tua yang tak berkembang. Rumah yang dulunya dibeli dengan cicilan pinjaman koperasi, lalu dibiarkan begitu saja: tidak direnovasi, tidak dicat ulang, tidak diberi lampu hias.
Di sanalah ia tinggal, sendiri. Hari demi hari. Tahun demi tahun. Tanpa tamu, tanpa keluarga, tanpa suara.
Di awal masa pensiunnya yang tidak resmi, ia masih pergi ke warung setiap pagi. Membeli kopi sachet, rokok murah, dan terkadang sepotong tempe goreng. Ia duduk di bangku warung, melihat orang lalu lalang, tanpa ikut bicara. Pemilik warung memanggilnya “Pak Karso,” dengan sopan, tapi tanpa rasa ingin tahu. Ia dianggap baik, ramah, tapi... hambar. Seperti piring plastik yang selalu bersih, tapi tak pernah digunakan untuk pesta.
Lalu ia berhenti datang. Pemilik warung mengira ia pindah. Beberapa anak muda bahkan tidak tahu siapa dia. Mereka hanya tahu rumah itu "seram", tak berpenghuni, dan mereka suka melempar batu kecil ke atapnya sambil tertawa.
Tapi Karso masih hidup saat itu. Masih duduk di kursi rotannya. Masih menonton televisi yang suaranya tidak pernah dinyalakan. Masih membaca koran lama yang sudah berdebu. Masih menghitung sisa beras yang ia punya. Masih mencoret-coret catatan harian yang tak pernah dibaca siapa pun.
Ia tidak bunuh diri. Ia tidak mengalami tragedi. Ia hanya... terus hidup, tanpa benar-benar hidup. Perlahan-lahan lenyap dari dunia yang tidak pernah memperhatikannya.
Ada cerita samar tentang masa mudanya. Katanya ia pernah jatuh cinta pada guru seni di sekolah tempatnya bekerja. Perempuan itu muda, energik, penuh tawa. Karso tidak pernah menyatakan apa-apa. Hanya memandang dari kejauhan. Sampai suatu hari, perempuan itu menikah dan pindah ke luar kota. Sejak itu, Karso tak pernah bicara banyak lagi.
Katanya juga, ia punya adik di luar Jawa. Tapi hubungan mereka renggang. Atau mungkin itu hanya rekaan warga lama. Tak ada yang tahu pasti.
Yang jelas, tak ada satu pun yang mencari Karso selama ia menghilang.
Ketika tubuhnya ditemukan, detektif dari kepolisian datang. Tidak karena ada dugaan pembunuhan, tapi karena lamanya mayat berada di tempat tanpa diketahui. Mereka memperkirakan ia sudah mati sejak 7 hingga 10 tahun lalu. Penanggalan di kalender terakhirnya berhenti di bulan Mei 2014. Lemari es kosong. Koran terakhir dari bulan yang sama.
Artinya: dunia telah melupakannya selama satu dekade penuh, dan bahkan setelah mati, ia masih harus menunggu bertahun-tahun untuk dikuburkan.
Kematian yang terlambat. Sebuah penguburan untuk seseorang yang sebenarnya sudah tidak ada jauh sebelum jantungnya berhenti berdetak.
Kini makamnya berada di sudut tanah kuburan umum, tanpa pelayat. Batu nisannya sementara, hanya potongan papan yang sudah agak lembab.
Tidak ada yang benar-benar sedih. Tidak ada yang kehilangan. Tapi dalam sunyi itulah, terasa ada sesuatu yang menyakitkan: bahwa seorang manusia bisa hidup dan mati tanpa pernah benar-benar disadari.
Tidak ada drama. Tidak ada pesan terakhir. Hanya sunyi, dan tubuh yang membusuk perlahan di balik pintu yang terkunci. Hanya sisa-sisa hidup yang tidak pernah dipertanyakan siapa pun.
Seseorang bertanya, “Apa gunanya hidup seperti itu?” Yang lain menjawab, “Mungkin memang tidak ada.” Atau mungkin justru di sanalah letak kejujurannya: bahwa tidak semua hidup punya makna. Bahwa ada manusia yang diciptakan bukan untuk bersinar, bukan untuk dikenang, tetapi hanya... untuk ada. Sekadar melewati hari.
Mereka bukan tokoh utama. Bukan penolong. Bukan antagonis. Mereka adalah figuran. Latar. Kabut. Bayangan yang menyertai cerita orang lain, tapi tidak pernah menjadi cerita itu sendiri.
Dan seperti Karso, mereka bisa hidup selama puluhan tahun, tanpa pernah benar-benar hidup. Dan ketika mati pun, dunia tidak berubah sedikit pun.
Akhir.
Cerita ini untuk mereka yang sudah mati sejak lama, hanya tubuhnya saja yang terlambat menyusul. Mereka yang berjalan seperti biasa, tapi tidak lagi hidup di mata siapa pun. Mereka yang hidupnya seperti dinding kosong—tanpa warna, tanpa coretan, tapi tetap berdiri hingga waktu yang memudarkannya.