- Published on
- • 1,419 words• 7.125 min read
Rindu yang Tertinggal

- Authors
- Name
- Nur Wachid
- @wach_1
Arka selalu percaya bahwa setiap orang berhak memiliki mimpi, meski harus menukar banyak hal untuk meraihnya. Baginya, mimpi itu jelas: menjadi seorang pakar cyber security di Istana Kepresidenan. Ia ingin menjaga negeri ini, melindungi rahasia-rahasia yang tak kasatmata dari serangan yang tidak terlihat. Namun di balik keyakinannya, ada satu hal yang membuat langkahnya berat: Nadira.
Sejak pertama kali berpapasan di Departemen Teknologi dan Informasi (ITD), ada sesuatu pada Arka yang diam-diam memilih Nadira. Ia hadir seperti senja—selalu tenang, tak pernah berlebihan, namun tinggal sebagai hangat yang sulit diusir. Tatapan Nadira jernih dan tidak menghakimi, seolah memberi ruang bagi siapa pun untuk menjadi dirinya sendiri. Kebiasaannya merapikan kabel di meja kerja, menandai catatan dengan tinta biru, dan menyeduh kopi tanpa gula tiap pukul empat—hal-hal kecil yang sederhana namun konsisten—menciptakan ritme yang menenangkan. Dan senyumnya, tipis tetapi tulus, punya cara meredakan riuh di kepala Arka. Semua itu yang membuat hati Arka luluh tanpa perlu kata-kata besar.
"Kopi tanpa gula?" tanya Nadira suatu sore, menatap Arka tanpa menghakimi. "Kalau kau yang menyeduh, rasanya memang tenang," jawab Arka, setengah bercanda, setengah jujur. "Itu cuma kopi," ucap Nadira pelan. "Bukan. Tatapanmu yang membuatnya berbeda," kata Arka, menahan debar. Nadira tersenyum tipis—sebuah ketenangan kecil. "Kalau begitu, jam empat nanti aku seduhkan lagi."
Namun Arka tak pernah benar-benar berani mengucapkan perasaannya. Ia takut kehilangan, takut semua yang sudah nyaman berubah jika ia jujur. Setiap kali mereka berjalan berdua, Arka selalu menelan kembali kata-kata yang nyaris keluar dari bibirnya. Ia menunggu saat yang tepat, tapi saat itu tak pernah datang.
Sebulan Sebelum Keberangkatan
Sebulan sebelum hari itu, ketenangan yang biasa Arka simpan pecah menjadi serpih-serpih kecil. Ia mulai menghitung hari seperti menghitung luka. Pagi-paginya berdenyut, telapak tangan basah, napas memendek tiap kali notifikasi email berkedip. Di sela rapat persiapan, jantungnya mengetuk dada dengan ritme cemas yang tidak mau patuh.
Jam empat sore, uap kopi tanpa gula tidak lagi menenangkan. Rasa pahitnya menempel di lidah, dan Arka ingin waktu berhenti di cangkir itu. Ketika Nadira mengangkat wajah—tatapan yang sejuk, senyum tipis yang biasa meredakan riuh—ada kalimat yang ingin pecah: Aku takut kehilanganmu. Namun lidahnya kaku, tenggorokannya kering, dan ia hanya menunduk.
Di ponselnya, draf pesan lahir dan dibatalkan: "Bolehkah aku jujur?" hapus. "Aku takut..." hapus. Malam-malamnya retak; angka jam melewati pukul dua, lalu tiga. Layar laptop menyala, tetapi pikirannya mengulang tiga skenario: mengaku, menunda, melepaskan. Di setiap akhir, ia tetap sendiri, dan Nadira menjauh.
Dalam perjalanan pulang di koridor kantor, ia menimbun hal-hal kecil—garis tinta biru di catatan Nadira, cara ia merapikan kabel, cara ia menghela napas sebelum tersenyum—seolah menghafal bisa menggantikan kehadiran. Di depan pintu rumah, Arka berdiri lama, dahi menyentuh kayu yang dingin. Ia berbisik lirih, entah kepada siapa: semoga besok aku berani.
Hari Keberangkatan
Hari keberangkatan itu tiba lebih cepat dari yang ia kira. Panggilan tugas ke luar negeri datang, pintu pertama menuju mimpi besarnya. Seluruh tim departemen memberi selamat, beberapa rekan menepuk bahunya dengan bangga. Namun di antara semua wajah itu, Arka hanya mencari satu sosok: Nadira.
Di bandara, Nadira berdiri sambil memegang tas kecil Arka. Ia tak berkata apa-apa; wajahnya tenang, sejuk, seolah menyembunyikan musim yang ia jaga agar tidak tumpah. Sorot matanya meredupkan hangat yang biasa tinggal di antara mereka. Ia menyerahkan tas itu pelan, geraknya rapi nyaris kaku—seperti seseorang yang takut menjatuhkan sesuatu yang rapuh. Tidak ada pelukan, tidak ada ucapan selamat jalan; hanya jeda yang panjang, dan tatapan yang memilih diam ketika kata-kata bisa melukai.
Arka menunggu tanda sekecil apa pun—sebuah kata, doa, atau senyum yang bisa ia bawa. Namun bibir Nadira tetap memilih diam. Kekakuan itu membuat langkah Arka goyah, seolah ada bisik yang tak terdengar: Pergilah. Jika aku bicara, mungkin kau akan berhenti.
Arka ingin menjawab dengan kalimat lain, dengan tiga kata sederhana yang sudah lama tersimpan di dadanya. Namun lidahnya kelu.
"Nadira... aku—" Arka mencoba membuka suara, namun kata itu terhenti di tenggorokannya.
Nadira menoleh singkat, suaranya dingin dan datar, "Pergilah, Arka. Waktumu hampir habis."
"Aku ingin kau tahu... aku akan kembali," ucap Arka, matanya mencari sedikit saja kehangatan.
Namun Nadira menunduk, hanya menjawab singkat, "Fokuslah pada mimpimu. Itu saja."
Ia hanya mengangguk, mencoba meraih tangannya—namun Nadira menariknya halus, menaruhnya kembali di samping tubuh. Tidak ada genggaman, tidak ada kehangatan. Hanya dingin yang membeku di antara mereka.
Saat melangkah menuju gerbang keberangkatan, dada Arka terasa sesak. Setiap langkah seperti menyeret beban berat yang tak terlihat. Di satu sisi, ada kebanggaan dan antusiasme karena ia akhirnya mendekati mimpinya. Namun di sisi lain, ada kekosongan yang menyesakkan, sebuah kehilangan yang bahkan belum sempat ia beri nama. Ia menoleh sekali lagi, berharap menemukan secercah kehangatan di wajah Nadira. Namun yang ia temukan hanyalah raut datar yang membuat hatinya semakin remuk. Dengan perasaan campur aduk—antara bimbang, kecewa, dan rindu yang tak tersampaikan—Arka pun melangkah pergi.
Monolog Nadira
Begitu punggung Arka lenyap di balik pintu keberangkatan, Nadira masih berdiri terpaku. Ia menjaga wajahnya tetap datar, tapi di dalam hatinya bergemuruh kata-kata yang tak pernah terucap. Seandainya kau tahu, Arka... aku tidak benar-benar ingin kau pergi tanpa kepastian. Aku ingin berkata aku akan menunggumu, bahwa aku bangga padamu. Tapi jika aku bicara, aku takut akan menahan langkahmu. Aku takut kau memilih aku daripada mimpimu.
Ia mengepalkan jemari yang tadi menolak genggaman Arka. Maafkan aku karena terlihat dingin. Itu satu-satunya cara agar kau bisa melangkah tanpa beban. Aku ingin kau mencapai mimpimu, meski hatiku retak setiap kali menatapmu menjauh.
Namun semua itu hanya berputar di dalam kepala Nadira. Tak satu pun sampai ke telinga Arka. Yang tertinggal hanyalah bayangannya yang perlahan memudar di balik kaca bandara.
Rindu di Udara
Pesawat itu terbang, membawa Arka semakin jauh dari kota, dari kantor yang selalu membuat mereka bertemu, dari Nadira. Dan di antara bunyi mesin yang bergemuruh, hatinya berbisik lirih: Seandainya aku punya keberanian untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu...
Hari-hari pertamanya di negeri asing dipenuhi kesibukan. Ia harus beradaptasi dengan budaya baru, bahasa yang kadang terselip, dan ritme kerja yang jauh lebih keras. Malam-malamnya dihabiskan di depan layar penuh kode, siang harinya dipenuhi ujian dan proyek. Di ruang server yang dingin, di bawah cahaya lampu putih yang menyilaukan, Arka belajar tentang serangan-serangan digital tingkat tinggi, tentang strategi pertahanan yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Namun di sela kesibukan itu, bayangan Nadira tak pernah hilang. Ia terselip di antara jeda napas, di antara suara notifikasi yang tak kunjung datang, di antara mimpi-mimpi kecil yang selalu berakhir dengan wajahnya. Terkadang, ketika ia berhasil memecahkan simulasi peretasan yang sulit, insting pertamanya adalah ingin mengabari Nadira. Tapi jarak, waktu, dan keraguan selalu menahannya.
Kehidupan yang Berjalan
Sementara itu, di kota asalnya, Nadira masih bekerja di departemen yang sama, duduk di meja yang dulu tak jauh dari Arka. Rekan-rekan mereka sering menanyakan kabar Arka kepadanya, dan Nadira selalu menjawab dengan singkat, dingin, dan datar: "Dia baik-baik saja." Nada suaranya seakan menutup pintu percakapan, membuat orang lain segan untuk bertanya lebih jauh.
Setiap sore, Nadira berdiri di balkon rumahnya, menatap langit yang sama. Dari luar, ia tampak tak terusik—seperti perempuan yang tidak pernah terguncang. Namun dalam dirinya, ada rindu yang tumbuh diam-diam—rindu yang ia simpan rapat di balik sikap beku. Dalam diam itu, Nadira sering menyesali sikapnya di bandara. Ia ingin sekali berkata: Aku akan menunggumu. Tapi kata-kata itu tenggelam oleh kebanggaannya sendiri, oleh dingin yang sudah terlanjur ia bangun sebagai benteng.
Kerinduan yang Tertinggal
Hari-hari Arka berjalan seperti kabut—tidak sepenuhnya hilang, tetapi tak pernah benar-benar menampakkan jalan. Pagi-paginya berbunyi pelan: dering ponsel, notifikasi yang tak menyebut nama Nadira, cangkir kopi yang ia biarkan mendingin di tepi meja. Ada ruang kosong di antara teguk pertama dan kedua, semacam jeda yang menyebut namanya.
Di kantor, kursi di sebelahnya tetap kosong. Ia sering menoleh refleks, hampir menyebut, lalu mengingat—dan menarik kembali napasnya. Jarinya mengetuk meja, seperti kode rahasia yang tidak pernah sampai. Terkadang ia menulis namanya di kolom pencarian, menghapus sebelum enter; rindu punya cara sendiri untuk membuat orang berjalan memutar.
Jam empat sore, uap kopi tanpa gula kembali naik. Ia menunggu keajaiban yang tak pernah datang: pintu yang terbuka, langkah yang dikenalnya, senyum yang menenangkan riuh. Yang datang hanyalah keheningan yang rapi, dan bayangan yang tinggal lebih lama dari semestinya.
Malam hari, suara mesin pendingin menggantikan suara manusia. Layar laptop menyala, tetapi pikirannya mengembara ke tempat yang lebih sunyi. Rindu bukan badai—ia adalah gerimis yang telaten; ia tidak menyakitkan sekali, tetapi terus, dan terus. Di dada Arka, ada sesuatu yang mengikat pelan, menahan panjang napasnya setiap kali ia menyebut nama itu dalam hati.
Ia belajar berjalan, bekerja, tertawa seadanya; tetapi rindu tidak belajar pergi. Ia hanya beringsut, mengambang di atas jam-jam yang panjang, menunggu satu keberanian yang tak kunjung pulang.